Yohanes 5:1-18
Jika Anda menderita sakit berat menahun lalu sembuh di tangan seorang
dokter, bagaimana perasaan Anda? Tentu rasa terima kasih yang begitu
dalam akan terucap berulang-ulang, karena menyadari begitu besarnya arti
kesembuhan itu. Namun tidak demikian dengan orang lumpuh di dekat kolam
Betesda yang disembuhkan oleh Yesus.
Dia menderita sakit sudah begitu lama, tiga puluh delapan tahun (5)!
Meski berada di pinggir kolam yang dipercaya dapat memberi kesembuhan,
ia tak bisa berbuat apa-apa karena kelumpuhannya. Pertanyaan Yesus
tentang keinginannya untuk sembuh ditanggapi dengan jawaban yang seolah
permohonan agar Yesus menolong dia untuk menjadi yang pertama tiba di
kolam ketika airnya berguncang (6-7). Namun bukan demikian maksud Yesus.
Perintah Yesus, ""Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah" memberi
kuasa bagi si lumpuh untuk melakukannya.
Namun mengangkat tilam pada hari Sabat memancing reaksi keras dari
para pemuka Yahudi. Ironisnya, si lumpuh tidak tahu siapa yang
menyembuhkan dia. Padahal kesembuhannya sungguh luar biasa. Tampaknya ia
tidak mau disalahkan atas tindakannya yang dianggap sebagai
ketidaktaatan pada Taurat. Ia malah menyalahkan Yesus dan cari aman
sendiri. Ia benar-benar tidak punya rasa terima kasih. Padahal Yesus
telah memperingatkan agar kesembuhannya jangan dimanfaatkan sebagai
kesempatan berbuat dosa (14).
Sungguh sayang, mukjizat kesembuhan tidak membuka matanya untuk
mengenal siapa Yesus. Memang ada banyak orang yang hanya mau menerima
anugerah Allah, tetapi menolak menerima Allah di dalam hidup. Para
pemimpin Yahudi pun tak jauh beda. Mereka tidak peduli pada kesembuhan
ajaib yang dialami si lumpuh karena hanya peduli pada aturan Sabat yang
dilanggar. Padahal pertemuan dengan Yesus seharusnya menjadi kesempatan
indah bagi si lumpuh dan para pemuka Yahudi untuk mengalami kasih Allah.
Mari kita belajar untuk tidak mementingkan diri dalam kepengikutan kita
akan Yesus.